Jumat, 07 Maret 2014

PUISI



 "MUNAJAH"

Aduhai, bagaimana diri akan membela di hadapan-Mu, ya Rabb?
Dengan apa pembelaan ini akan kulakukan, padahal setiap dzarrah diriku tak bisa luput dari penglihatan-Mu? Setiap kehendak yang tertanam dalam hatiku tak pernah luput dari pengawasan-Mu? Setiap keping dari perbuatanku tak bisa lepas dari ilmu-Mu? Kemana aku hendak berlari, sedangkan tak ada satupun tempat di semesta-Mu yang tidak Engkau ketahui?

Sungguh, betapa hinanya diriku di hadapan-Mu.
Walau aku timbang perbuatan baikku, itu tidaklah cukup berat bila dibandingkan dengan amal burukku.

Ampuni aku, Ya Allah........
Ampuni dosa-dosa dan kesalahanku.
Kasihanilah aku dan keterasinganku.
Temani kesendirianku. Hiburlah kesedihanku.
Tenangkanlah ketakutanku.
Anugerahkanlah padaku salah satu dari rahmat-Mu, yang dengannya aku merasa cukup dari menuntut kasih sayang kepada selain-Mu, serta gabungkanlah aku bersama orang-orang yang Engkau cintai.

Di depanku terbentang jalan yang bercabang.
Dua orang berdiri di samping masing-masing jalan itu.
Bila kuambil jalan yang satu,
maka harus kutinggalkan orang yang satunya di jalannya sendiri.
Bagaimana caraku memperoleh sebuah cinta, tanpa harus melukai cinta yang lainnya kepadaku?
Ya, Ilahi...
Hanya kepada-Mu aku bermohon. Aku tidak ingin melukai perasaan siapa pun dari hamba-
Mu. Maka aku bermohon kepada-Mu agar dia yang tidak mendapatkan cintaku akan terus mendapatkan hidayah, inayah, dan taufiq-Mu.
Sumber: munajah cinta 2

Kamis, 06 Maret 2014

MAKALAH



PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN TENTANG
KEPRIBADIAN MUSLIM

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu : Moch. Iskarim, M. S. I.








Disusun Oleh:
1.      Heri Rubi Antoni               2021 111 161
2.      Nurul Apriliani                  2021 111 182
3.      Shofatul Jannah                 2021 111 183

Kelas: H

PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2013





BAB I
PENDAHULUAN

            Peningkatan kualitas sumber daya manusia tentunya berbeda dari zaman ke zaman. Sifat, bentuk, dan arahannya tergantung dari kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat masing-masing. Di masyarakat tradisional, peningkatan kualitas sumber daya manusia masih tebatas pada aspek-aspek tertentu, yang serta kaitannya dengan tradisi setempat. Namun yang jelas, peningkatan itu tak lepas hubungannya dengan filsafat hidup dan kepribadian masing-masing. dalam pengertian sederhana, filsafat diartikan sebagai kepribadian jati diri dan pandangan hidup seseorang, masyarakat atau bangsa.
            Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kepribadian muslim dalam pandangan filsafat pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Kepribadian Muslim
Ada tiga kata yang sering digunakan dalam penyebutan yang sama dan mempunyai kedekatan makna seperti karakter, tempramen dan kepribadian. Karakter lebih menjurus kearah tabiat-tabiat yang dapat disebut benar atau salah, sesuai atau tidak sesuai dengan norma-norma social yang diakui. Temperamen diartikan sebagai segi kepribadian yang erat hubungannya dengan perimbangan zat-zat cair yang ada dalam tubuh, misalnya pemurung, gembira dan lainnya. sedangkan kepribadian adalah suatu perwujudan keseluruhan kepribadian manusia yang unik, lahir batin dan antar hubungannya dengan kehidupan sosial dan individu. Kepribadian juga diartikan sebagai dinamisasi dari sistem-sistem psikosifik dalam individu yang turut menentukan cara yang khas dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.[1]
Kepribadian dapat dilihat dari empat aspek muatannya:
1.      Aspek personalia, yaitu kepribadian dilihat dari pola tingkah laku lahir dan batin yang dimiliki seseorang.
2.      Aspek individualitas, yakni karakteristik atau sifat-sifat khas yang dimiliki seseorang, hingga dengan adanya sifat-sifat ini seseorang secara individu berbeda dengan individu lainnya.
3.      Aspek mentalitas, sebagai gambaran pola pikir seseorang.
4.      Aspek identitas, yaitu kecenderungan seseorang untuk mempertahankan sikap dirinya dari pengaruh luar.[2]
Dengan demikian kepribadian adalah sifat-sifat dan aspek-aspek tingkah laku yang ada dalam diri individu yang bersifat psikofisik dalam interaksinya dengan lingkungan yang menyebabkan individu itu berbuat dan bertindak seperti apa yang dia lakukan, dan menunjukan ciri-ciri yang khas yang membedakan individu dengan individu yang lainnya. Termasuk didalamnya sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan cita-cita, pengetahuan dan ketrampilan, macam-macam cara gerak tubuhnya, dan sebagainya.
Jadi kepribadian muslim adalah kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya baik tingkah laku luarnya, kegiatan jiwanya maupun falsafah hidup dan kepercayaannya menunjukan pengabdian kepada tuhan dan penyerahan diri kepada-Nya.
Imam Besar Al-Azhar, Mahmud Syaltut, membedakan kepribadian Islam menjadi dua macam kategori, yaitu:
1.    Kepribadian yang bersumber dari perasaan (Syakhsijah al-hissijjah), yaitu perasaan mempengaruhi tingkah lakunya.
2.    Kepribadian yang bersumberkan idealitas (Asy-Syakhshiyyatul-Maknawiyah) memanifestasikan perilaku yang ideal, yaitu yang merujuk kepada tingkat keteguhan pendiriannya, kuat dan lemahnya, pandai atau bodoh, ketetapan hati atau keragu-raguannya, dan seterusnya.[3]
Ada tiga aspek pokok yang menjadi corak khusus bagi seseorang muslim menurut ajaran islam, yaitu:
1.      Adanya wahyu Tuhan yang memberikan kewajiban kepada manusia muslim untuk melaksanakan tugasnya yang berkaitan dengan Tuhan maupun masyarakat.
2.      Praktik ibadah yang harus dilakukan dengan aturan-aturan yang pasti dan teliti. Hal ini akan mendorong setiap muslim untuk memperkuat tali persaudaraan dengan sesamanya dan akan menjadikan sebagai kelompok yang terorganisir.
3.      Konsepsi Islam tentang alam yang menggambarkan penciptaan manusia secara harmonis dan seimbang dibawah perlindungan tuhan. Ajaran ini juga akan mengukuhkan kelompok.
Atas dasar ajaran ini maka pribadi muslim bukanlah pribadi yang egoistis, akan tetapi seseorang pribadi yang penuh dengan sifat-sifat pengabdian baik kepada Tuhan maupun kepada sesamanya.
Selain itu, menurut Syaikh M. Jamaludin Mahfuzh ada tiga hal yang menjadi karakteristik seseorang bisa dikatakan sebagai orang yang memiliki kepribadian muslim, yaitu:
1.      Menyerahkan diri kepada Allah
Membentuk pribadi yang islami harus atas dasar kesadaran menyerahkan diri kepada Allah.
2.      Kebebasan dan kemuliaan manusia
Pribadi seorang muslim harus melepaskan diri dari pengabdian kepada selain Allah. Sehingga ia benar-benar bisa terbebas dari kegelisahan, ketakutan, dan perasaan apa saja yang dapat memperlemah dan melecehkan kemuliaan insan.
3.      Membebaskan pribadi muslim dari faktor-faktor ketakutan
Mengatasi rasa takut dengan pendekatan aspek akidah (tauhid). Ia ditanamkan akidah atau keyakinan ke hati setiap muslim bahwa yang menguasai segenap kekuasaan hanyalah Allah semata.[4]

B.       Proses Pembentukan Kepribadian Muslim
Pembentukan kepribadian merupakan suatu proses. Akhir dari perkembangan itu jika berlangsung dengan baik maka akan menghasilkan suatu kepribadian yang harmonis.
Kepribadian dikatakan harmonis apabila segala aspek-aspeknya seimbang, keseimbangan antara peran individu dengan pengaruh lingkungan sekitarnya. Proses pembentukan kepribadian yang seimbang dapat dilakukan melalui tiga tahapan:
1.      Pembiasaan.
Tujuannya adalah membentuk aspek jasmani dari kepribadian, atau memberi kecakapan berbuat atau mengucapkan sesuatu. Demikian ini dapat dilakukan dengan cara mengontrol dan menggunakan tenaga-tenaga kejasmanian dan membantu dengan tenaga-tenaga kejiwaan, dengan membiasakan peserta didik melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang diucapkannya.
2.      Pembentukan pengertian, minat dan sikap.
Pada tahap ini diberikan pengertian atau pengetahuan tentang pekerjaan yang dilakukan dan diucapkan dan ditanamkan pula dasar-dasar kesusilaan yang erat hubungannya dengan kepercayaan dengan menggunakan tenaga-tenaga kejiwaan karsa, rasa dan cipta.
3.      Pembentukan kerohanian yang luhur
Pada tahap ini dapat dilakukan dengan pendidikan sendiri, yaitu dengan cara menanamkan kepercayaan yang terdiri atas:
a.       Iman kepada Allah.
b.      Iman kepada malaikat.
c.       Iman kepada kitab.
d.      Iman kepada rasul.
e.       Iman kepada Qadla dan Qadar.
f.       Iman kepada hari akhir
Dengan penanaman kepercayaan adanya rukun iman tersebut diharapkan akan tercipta kesadaran dan pengertian yang mendalam. Segala apa yang dipikirkan dan dipilih serta diputuskan dan juga yang dilakukan adalah berdasarkan keinsafan diri sendiri.
Selain itu, proses pembentukan kepribadian muslim dapat pula dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.      Pembentukan kepribadian muslim sebagai individu
Dalam pembentukan kepribadian muslim sebagai individu, pembentukan diarahkan pada peningkatan dan pengembangan faktor bawaan dan faktor pendidikan yang berpedoman pada nilai-nilai Islam. Faktor bawaan dikembangkan melalui bimbingan dan pembiasaan berfikir, bersikap dan tingkah laku menurut norma-norma Islam. Sedangkan faktor pendidikan dilakukan dengan cara mempengaruhi individu dengan menggunakan usaha membentuk kondisi yang mencerminkan pola kehidupan yang sejalan dengan norma-norma Islam seperti contoh, teladan dan lingkungan yang serasi.
Proses pembentukan kepribadian muslim sebagai individu dapat pula dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
a.       Prantal Education
Proses pendidikan jenis ini dilakukan secara tidak langsung. Proses ini dimulai disaat pemilihan calon suami atau istri dari kalangan yang baik dan berakhlak. Kemudian dilanjutkan dengan sikap dan prilaku orang tua yang Islami, disaat bayi dalam kandungan, ditambah lagi dengan pemberian makanan dan minuman yang halal dan baik serta dilengkapi penerimaan yang baik dari kedua orang tua atas kehadiran bayi tersebut.
b.      Education by another
Proses pendidikan jenis ini dilakukan secara langsung oleh orang lain seperti: orang tua dalam rumah tangga, guru disekolah dan pemimpin didalam masyarakat
c.       Self Education
Proses ini dilaksanakan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan orang lain seperti membaca buku-buku, majalah, koran dan sebagainya, atau melalui penelitian untuk menemukan hakikat segaala sesuatu tanpa bantuan orang lain.[5]
2.      Pembentukan kepribadian muslim sebagai ummah.
Kepribadian muslim sebagai ummah merupakan komunitas muslim yang memiliki pandangan hidup sama, walaupun masing-masing mempunyai faktor bawaan yang berbeda. Persamaan pandangan hidup diyakini akan membantu usaha membina hubungan yang baik serasi antar sesama anggota keluarga, masyarakat, bangsa, maupun antar sesama manusia sebagai ummah.
Selain itu proses pembentukan kepribadian muslim secara ummah dapat puka dilakukan dengan cara dibawah ini :
a.       Pergaulan sosial, dilakukan dengan cara tidak melakukan hal-hal yang keji dan tercela seperti, membunuh, menipu, riba, merampok, memakan harta anak yatim dan sebagainya. Membina hubungan tata tertib, meliputi bersikap sopan santun dalam pergaulan, meminta izin ketika masuk rumah orang, berkata baik dan memberi serta membalas salam.
b.      Pergaulan dalam Negara, dapat dilakukan dengan cara bermusyawarah dengan rakyat, menerapkan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran dan kasih sayang serta tanggung jawab terhadap rakyat.
c.       Pergaulan antar Negara, dapat dilakukan dengan cara melaksanakan perdamaian antar bangsa, menghargai perjanjian, dan membina kerukunan antar Negara dan saling membantu antar sesama.
Pembentukan kepribadian muslim sebagai individu, keluarga, masyarakat, maupun ummah pada hakikatnya seiring dan menuju ketujuan yang sama. Tujuan utamanya adalah guna merealisasikan diri, baik secara pribadi maupun secara komunitas untuk menjadi pengabdi Allah yang setia, tunduk dan patuh pada aturan Allah.[6]

C.    Implementasi Filsafat Personal Pendidikan
Sebuah renungan brilian filsafat pendidikan hanya mempunyai nilai, jika ia menjadi sarana menuju suatu tujuan daripada menjadi tujuan itu sendiri. Tujuan demikian akan menjadikan praktik pendidikan yang lebih berdaya guna. Para peserta didik acapkali berpikir tentang studi filsafat pendidikan sebagai suatu “permainan” mental yang secara relative tiada guna. Sebaliknya, filsafat pendidikan, jika tujuannya nyata tidak dipahami, adalah sesuatu yang paling praktis (gampang) dari semua materi pengajaran yang diberikan pada (calon) pendidikan. Tanpa filsafat pendidikan, tidak bisa ada praktik yang bermakna. Dengan demikian, langkah pertama dalam mengembangkan praktik adalah upaya logis meningkatkan pemikiran Anda tentang apa yang sedang Anda kerjakan dan mengapa Anda mengerjakannya.
Sama pentingnya dengan filsafat pendidikan, bagaimanapun setiap pendidik harus menyadari bahwa filsafat pendidikan hanyalah salah satu dari unsur-unsur fondasional yang “membingkai” proses pendidikan. Ketika filsafat menyediakan batas-batas dasar bagi praktik pendidikan yang diinginkan oleh sekelompok masyarakat, faktor-faktor lain, termasuk iklim politik, kondisi ekonomi, kebutuhan pasar kerja, dan konsepsi social tentang kependudukan, tentunya berpengaruh terhadap praktik pendidikan. Keputusan-keputusan pendidikan dibuat dalam suatu lingkungan dinamis yang mana berbagai faktor perlu dipertimbangkan. Sebagai seorang professional pendidikan, Anda harus membuat pilihan-pilihan yang cerdas dan bertanggungjawab dalam kaitannya dengan konteks sosial yang spesifik.
      Dalam banyak kasus, pendidik yang memahami akan mampu bekerja dalam konteks tujuan masyarakat yang lebih luas, dengan tetap selaras dan komitmen pada kepercayaan-kepercayaan personalnya. Salah satu tujuan mengkaji filsafat pendidikan adalah membekali diri dengan “alat-alat” agar bisa memahami secara lebih baik filsafat personal Anda, filsafat sosial dari budaya tempat Anda hidup dan bekerja, dan sarana-sarana yang dapat Anda pergunakan untuk “meramu” kedua hal tersebut secara bertanggungjawab.
      Kesimpulannya, penting disadari bahwa pembangunan filsafat adalah sebuah proses yang terus berlanjut. Sebagi seorang pendidik, Anda senantiasa mendapatkan pencerahan-pencerahan baru, dan seiring meluasnya pengetahuan dan pengalaman praktis, Anda secara ajeg akan mengembangkan filsafat Anda. Para professional kependidikan perlu berfikir tentang filsafat pendidikan sebagai sesuatu yang mereka “kerjakan” berlandaskan sebuah pijakan yang abadi (kokoh), daripada sebagai sesuatu yang pernah mereka pelajari dalam suatu program kurikuler.
Pembangunan sebuah filsafat personal baik tentang kehidupan maupun pendidikan merupakan proses pemikiran dan praktik yang berlanjut terus yang menjadi lebih kaya, lebih mendalam, dan lebih bermakna setelah Anda kembangkan secara profesional. Pendidik yang berhasil adalah seorang pendidik yang terus berfikir. Anda jangan beranggapan bahwa Anda sekarang memahami filsafat dan pendidikan, dan karena itu cepat-cepat beralih ke hal-hal yang lebih penting. Filsafat Anda adalah sebuah bagian integral tentang siapa Anda dan segala sesuatu yang Anda kerjakan. Perkembangan Anda dalam bidang ini dan juga dalam upaya-upaya kemanusiaan lainnya, harus merupakan sebuah proses yang dinamis dan terus berlanjut.[7]


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Kepribadian muslim adalah kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya baik tingkah laku luarnya, kegiatan jiwanya maupun falsafah hidup dan kepercayaannya menunjukan pengabdian kepada tuhan dan penyerahan diri kepada-Nya. Kepribadian muslim merupakan suatu hasil dari proses sepanjang hidup. Kepribadian muslim tidak terjadi sekaligus, akan tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Oleh sebab itu banyak faktor yang membentuk kepribadian muslim tersebut.
Pada dasarnya pembentukan kepribadian muslim sebagai individu, keluarga, masyarakat, maupun ummah pada hakikatnya seiring dan menuju ketujuan yang sama. Tujuan utamanya adalah guna merealisasikan diri, baik secara pribadi maupun secara komunitas untuk menjadi pengabdi Allah yang setia, tunduk dan patuh pada aturan Allah.

B.       Saran-saran
Dengan memahami konsep kepribadian muslim dalam perspektif filsafat pendidikan Islam dapat diharapkan nantinya seorang pendidik dapat berfikir, dan bertindak dengan bernafaskan Islami. Karena dalam tujuan pendidikan Islam diharapkan dari seorang pendidik menjadi figur yang dapat dicontoh peserta didik dan masyarakat, oleh karena itu segala tingkah laku pendidik harus sesuai dan sejalan dengan norma dan nilai ajaran agama yang berasal dari wahyu sehingga peserta didik akan mencontohnya.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayyin. 2009.  Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jogjakarta: Ar Ruzz Media

Khobir, Abdul. 2013. Filsafat Pendidikan Islam: Landasan Teoritis dan Parktis. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press

Knight, George R. 2007.  Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Gama Media

Ramayulis. 2002.  Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia


[1] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam: Landasan Teoritis dan Parktis, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2013), hlm. 129-130
[2] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2007), hlm. 190
[3] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 155.
[4] Ibid., hlm. 131
[5] Abdil Khobir., Op., cit, hlm. 135
[6] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 298.
[7] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hlm. 236-240