Senin, 17 Oktober 2016

Antara Aku, Ibu dan Organisasi

Selasa, 18 Oktober 2016 
Antara Aku, Ibu dan Organisasi
Aku berasal dari keluarga sederhana, terlahir dari seorang ibu rumah tangga biasa dan seorang ayah yang hanya berjualan tempe di ibu kota seorang diri. Terdiri dari enam bersaudara, aku diurutan yang ke lima. Bagi simak dan bapak (begitu panggilanku kepada beliau), organisasi bukan sesuatu yang penting dan bahkan tidak mendatangkan manfaat menurutnya. Dari semua anggota keluargaku tidak ada yang berkiprah di dunia organisasi apapun baik di dalam sekolah maupun di masyarakat. Sedikit berbeda denganku yang mempunyai ketertarikan dengan dunia organisasi ketika duduk di bangku SMP. OSIS, KIR (Karya Ilmiah Remaja), Panti PKS (Pasukan Inti PKS) dan Pramuka pernah aku berkecimpung di dalamnya. Berangkat pagi pulang sore menjadi hal yang rutin dilakukan karena keikutsertaanku dalam kegiatan-kegiatan tersebut.
Agaknya organisasi tersebut tidak ku teruskan ketika aku duduk di bangku SMA bahkan sampai di perguruan tinggi. Alasan utamanya karena kekhawatiran simak terhadap kondisi fisikku karena terlalu banyaknya kegiatan di luar jam sekolah/kuliah yang sering dilakukan di banyak tempat-tempat yang tidak dekat dengan rumah. Baiklah itu anggap sebuah kewajaran. Kemudian aku mulai mencari solusi untuk tetap bisa aktif berorganisasi. Aku memilih IPNU IPPNU sebagai wadah berorganisasiku di tingkat desa. Ku kira ini akan tanpa masalah, namun sayangnya ekspektasiku terlalu dangkal. Beberapa kali rutinan (berzanji dan burdah) bahkan rapat-rapat kecil yang sering kuhadiri sering mendapat kritikan dari simak sepulang dari kegiatan tersebut. Pernah kujelaskan maksut kegiatan yang aku ikuti, namun agaknya simak kurang senang. Katanya “sing dilakoni kui opo jane, nek ora penting kui ora usah mangkat. Nang kono kui wes ono wong liyo. Cah wadok kui nek bengi nang omah bae, ora usah kakean mayeng.” Begitulah tanda kasih sayang yang tiap hari aku terima selepas kepulanganku dari kegiatan-kegiatan tersebut. Tidak jarang juga sms berdatangan ketika jam menunjukkan pukul 9 malam “kon bali !” begitu bunyi sms dari adikku dan kakakku. Sudah ku tebak pasti itu perintah simak. Seketika itu aku bersiap bergegas pulang, padahal waktu rapat baru saja dimulai dan kebetulan waktu itu aku berperan sebagai pembawa acaranya. Tapi karena ketakutanku dengan simak membuatku tak pikir panjang langsung keluar dari rapat tersebut. Pernahku abaikan sms itu, tapi yang ada “omelan kasih sayang” lagi yang kudapatkan. Hampir pernah aku berdebat dengan simak, bahwa yang aku ikuti itu adalah kegiatan-kegiatan positif bukan sekedar “kumpul-kumpul kosong” tanpa makna. Sayangnya..simak tetap teguh pada pendiriannya, “wong wadok kudu nang omah neg wayah bengi”. Curi-curi kesempatan pernah juga kulakukan, berangkat rapat/rutinan tanpa ijin. Dikarenakan kalau ijin dari awal pasti sudah akan dilarang. Dan akhirnya “omelan kasih sayang” lagi yang kudapatkan ketika aku sampai di rumah. Begitu aku alami sampai sekarang, dimasa aku yang sudah berkepala dua.
Akhirnya aku hanya bisa mengikuti sedikit kegiatan yang aman dari “omelan kasih sayang” yaitu yanalil (yasin wa tahlil) yang biasa dilakukan pada malam jum’at ba’da maghrib. Berzanji sudah ada penerusnya, jadi sedikit lega ada yang “ngurip-nguripi” mushola dengan generasi yang baru, dimana aku hanya bisa memantau dari kejauhan tanpa ikut di dalamnya lagi. Sesekali ketika simak tidur awal sempat aku curi-curi kesempatan ke mushola untuk berzanjinan bersama anak-anak. Agaknya lambat laun simak sedikit tidak berkomentar, tapi aku merasakan keberatan dalam hatinya ketika anaknya keluar malam walaupun untuk hal-hal yang positif.
Dan sekarang aku hanya bisa menjadi penikmat bukan sebagai pelaksana. Dalam benakku selalu muncul kalimat “Ridhollah fi ridhol walidain wa sukhtullah fi shukhtil walidain (ridho Allah terletak pada ridho pada kedua orang tua Kemurkaan Allah terletak pada kemarahan ke dua orang tua). Karena hati ini tak kan pernah nyaman dan tenang ketika simak tidak merestui apa yang aku lakukan.
Semoga saja dan insyaallah barokah.. 

Dan untuk kalian anak-anak yang selalu mendapat dukungan dari orang tua terutama dalam kegiatan-kegiatan positif, maka gunakanlah kesempatan itu dengan bijak. 

Sabtu, 15 Oktober 2016

RUTINAN BERZANJI DI MUSHOLA AL-ISTIQOMAH ROWOYOSO

Sabtu, 15 Oktober 2016

Mendengar lantunan suara mereka mengingatkanku pada sebuah perjuangan yang dulu pernah kita lakukan bersama (Qiply & Pino). Berawal dari semangat yang menggebu-gebu ingin “ngurip-ngurip mushola” kita berjalan menyusuri jalan tiap malam ahad. Dimana biasanya kaum muda mudi berpacaran atau sekedar bermain dengan teman atau bahkan jalan-jalan ke mall, kita malah justru lebih asyik melantunkan “nadhom-nadhom” berzanji di mushola tercinta Al-Istiqomah Rowoyoso. Pernah kita lalui hanya segelintir orang yang datang, bahkan pernah hanya kita berdua (aku dan kamu pino/qiply) atau hanya kita bertiga saja melantunkan berzanji, tak jarang juga sering aku mendapatkan omelan ibu karena kepulanganku yang katanya terlarut malam, hujan yang pernah kita terjang bersama tak pernah menyurutkan langkah kita untuk berzanji. Semua kita lakukan dengan penuh rasa senang tanpa beban. Bagi kita melantunkannya seperti beban masalah dalam pikiran kita seakan hilang dan hati terasa tentram dan damai.  
            Kini perjuangan kita membuahkan hasil kawan.. “mbabat” anak-anak seumuran sekolah yang lebih mentingin les ketimbang rutinan di mushola, sekarang telah beralih menjadi generasi penerus kita, anak-anak emas yang insyaallah sholehah. Yang awalnya malu-malu memegang “mic”. Bahkan ada yang parno dengan mic, sekarang sudah lihai dan bersahabat dengan mic. Mereka lantunkan “nadhom-nadhom” berzanji dengan penuh percaya diri.
Kepada kalian lah…kami berharap rutinan yang sederhana ini bisa istiqomah. Sesuai dengan nama mushola kita “Al-Istiqomah”. J

Allahumma sholli wasallim wabarik’alaih.. J