Selasa, 18 Oktober
2016
Antara Aku, Ibu dan Organisasi
Aku berasal dari
keluarga sederhana, terlahir dari seorang ibu rumah tangga biasa dan seorang
ayah yang hanya berjualan tempe di ibu kota seorang diri. Terdiri dari enam
bersaudara, aku diurutan yang ke lima. Bagi simak dan bapak (begitu panggilanku
kepada beliau), organisasi bukan sesuatu yang penting dan bahkan tidak
mendatangkan manfaat menurutnya. Dari semua anggota keluargaku tidak ada yang
berkiprah di dunia organisasi apapun baik di dalam sekolah maupun di
masyarakat. Sedikit berbeda denganku yang mempunyai ketertarikan dengan dunia
organisasi ketika duduk di bangku SMP. OSIS, KIR (Karya Ilmiah Remaja), Panti
PKS (Pasukan Inti PKS) dan Pramuka pernah aku berkecimpung di dalamnya. Berangkat
pagi pulang sore menjadi hal yang rutin dilakukan karena keikutsertaanku dalam
kegiatan-kegiatan tersebut.
Agaknya organisasi
tersebut tidak ku teruskan ketika aku duduk di bangku SMA bahkan sampai di
perguruan tinggi. Alasan utamanya karena kekhawatiran simak terhadap kondisi
fisikku karena terlalu banyaknya kegiatan di luar jam sekolah/kuliah yang
sering dilakukan di banyak tempat-tempat yang tidak dekat dengan rumah. Baiklah
itu anggap sebuah kewajaran. Kemudian aku mulai mencari solusi untuk tetap bisa
aktif berorganisasi. Aku memilih IPNU IPPNU sebagai wadah berorganisasiku di
tingkat desa. Ku kira ini akan tanpa masalah, namun sayangnya ekspektasiku
terlalu dangkal. Beberapa kali rutinan (berzanji dan burdah) bahkan rapat-rapat
kecil yang sering kuhadiri sering mendapat kritikan dari simak sepulang dari
kegiatan tersebut. Pernah kujelaskan maksut kegiatan yang aku ikuti, namun
agaknya simak kurang senang. Katanya “sing dilakoni kui opo jane, nek ora
penting kui ora usah mangkat. Nang kono kui wes ono wong liyo. Cah wadok kui
nek bengi nang omah bae, ora usah kakean mayeng.” Begitulah tanda kasih sayang yang
tiap hari aku terima selepas kepulanganku dari kegiatan-kegiatan tersebut. Tidak
jarang juga sms berdatangan ketika jam menunjukkan pukul 9 malam “kon bali !”
begitu bunyi sms dari adikku dan kakakku. Sudah ku tebak pasti itu perintah
simak. Seketika itu aku bersiap bergegas pulang, padahal waktu rapat baru saja
dimulai dan kebetulan waktu itu aku berperan sebagai pembawa acaranya. Tapi karena
ketakutanku dengan simak membuatku tak pikir panjang langsung keluar dari rapat
tersebut. Pernahku abaikan sms itu, tapi yang ada “omelan kasih sayang” lagi
yang kudapatkan. Hampir pernah aku berdebat dengan simak, bahwa yang aku ikuti
itu adalah kegiatan-kegiatan positif bukan sekedar “kumpul-kumpul kosong” tanpa
makna. Sayangnya..simak tetap teguh pada pendiriannya, “wong wadok kudu nang
omah neg wayah bengi”. Curi-curi kesempatan pernah juga kulakukan, berangkat
rapat/rutinan tanpa ijin. Dikarenakan kalau ijin dari awal pasti sudah akan
dilarang. Dan akhirnya “omelan kasih sayang” lagi yang kudapatkan ketika aku
sampai di rumah. Begitu aku alami sampai sekarang, dimasa aku yang sudah
berkepala dua.
Akhirnya aku hanya
bisa mengikuti sedikit kegiatan yang aman dari “omelan kasih sayang” yaitu
yanalil (yasin wa tahlil) yang biasa dilakukan pada malam jum’at ba’da maghrib.
Berzanji sudah ada penerusnya, jadi sedikit lega ada yang “ngurip-nguripi”
mushola dengan generasi yang baru, dimana aku hanya bisa memantau dari kejauhan
tanpa ikut di dalamnya lagi. Sesekali ketika simak tidur awal sempat aku
curi-curi kesempatan ke mushola untuk berzanjinan bersama anak-anak. Agaknya lambat
laun simak sedikit tidak berkomentar, tapi aku merasakan keberatan dalam
hatinya ketika anaknya keluar malam walaupun untuk hal-hal yang positif.
Dan sekarang aku
hanya bisa menjadi penikmat bukan sebagai pelaksana. Dalam benakku selalu muncul
kalimat “Ridhollah fi ridhol walidain wa sukhtullah fi shukhtil walidain (ridho
Allah terletak pada ridho pada kedua orang tua Kemurkaan Allah terletak pada
kemarahan ke dua orang tua). Karena hati ini tak kan pernah nyaman dan tenang ketika
simak tidak merestui apa yang aku lakukan.
Semoga saja dan
insyaallah barokah..
Dan untuk kalian
anak-anak yang selalu mendapat dukungan dari orang tua terutama dalam
kegiatan-kegiatan positif, maka gunakanlah kesempatan itu dengan bijak.